Thursday 8 August 2013

ISTIQOMAH PASCA RAMADHAN
Menjelang 1 bulan Ramadhan yang telah meninggalkan kita, suasana spiritual yang sangat kental, kondisi ruhani yang demikian bersemangat dan hidup serta gelora ibadah dan kekhusyu’an yang senantiasa kita temui disetiap jengkal nafas dan langkah kita, mulai sirna dan mulai menampakkan watak aslinya… Syawal pun tak lama lagi pergi berlalu, anugerah “sittan min syawalin” yang diibaratkan seperti berpuasa sepanjang tahun juga akan pergi, bisa jadi ini adalah Ramadhan dan Syawal terakhir kita.
Lalu, pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa mempertahankan suasana, semangat dan kekhusyu’an seperti yang kita miliki dalam Ramadhan? Adalah dengan sikap istiqomah atau konsisten. Berusaha sekuat tekad dan tenaga untuk senantiasa melaksanakan ketaatan dan peribadatan dalam setiap situasi dan kondisi, insya Allah suasana, semangat dan kekhusyu’an yang hampir mirip kita akan dapati dalam 11 bulan berikutnya. “Khairul a’maali maa daama wain qalla. Sebaik-baik amal perbuatan adalah yang berkesinambungan meskipun kuantitasnya sedikit.” Demikian sabda Rasulullah saw. Rasul juga tidak senang terhadap orang yang “ngebut” dan “ngebet” dalam menjalankan suatu ibadah kemudian ia jenuh dan akhirnya meninggalkannya sama sekali.
Pernah ada seorang sahabat yang bertanya kepada Rasulullah saw. satu kata atau satu ajaran yang ia tidak akan bertanya lagi selainnya dalam kehidupan ini. Maka Rasulullah saw. menjawab: “Qul amanu billah tsumastaqimu. Katakanlah saya beriman kepada Allah, kemudian istiqamahlah.” Sebuah pertanyaan yang manusiawi, pertanyaan sebagai bekal dan pegangan hidup yang dibanggakan dan diamalkan. Dan jawabannya pun tidak panjang apalagi berbelit berbelit. Hanya dua kata kunci kehidupan, yaitu Iman dan Istiqamah.
Allah swt. berfirman dalam surat Fushshilat ayat 30-32.
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kami-lah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dalam tafsir Fi Zhilalil Qur’an, Al-Ustad Sayyid Qutb menjelaskan bahwa:
Keistiqomahan dalam memegang teguh pernyataan “Rabb kami adalah Allah” berarti keistiqomahan dalam mengaktualisasikan dan membenarkannya, keistiqomahan yang dirasakan oleh hati dan yang dilaksanakan dalam kehidupan nyata, keistiqomahan dalam melaksanakan berbagai implikasi serta kewajibannya ketika kita bersyahadat bahwa tiada tuhan selain Allah. Tentu saja ini adalah perkara yang berat dan sulit. Karena berat dan sulit itulah , orang-orang yang beristiqomah akan mendapatkan kenikmatan yang luar biasa besar di sisi Allah berupa kebersamaan dengan para malaikat, perlindungan mereka dan kasih sayang mereka. Inilah yang tampak dari apa yang dikisahkan Allah tentang mereka, Malaikat berkata kepada temannya yang beriman:
“…Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu. Kami-lah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat…”
Kemudian digambarkan kepada mereka surga yang dijanjikan sebagai penggambaran seorang sahabat kepada sahabatnya tentang apa yang dia ketahui:
“…di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Subhanallah, ini adalah janji yang Allah siapkan buat orang-orang yang senantiasa beristiqomah.
Al Qur’an dan As Sunnah menganjurkan umatnya untuk berlomba-lomba dalam mengamalkan kebajikan dan amal shalih, akan tetapi Al Qur’an dan As Sunnah tidaklah melupakan berbagai keadaan yang sedang dan akan dialami oleh masing-masing manusia. Setiap orang pasti melalui berbagai fase dari pertumbuhan fisik, biologis, mental dan berbagai perubahan dan keadaan yang meliputinya. Oleh karena itu Al Qur’an dan As Sunnah senantiasa mengingatkan umatnya agar dalam beramal senantiasa memperhatikan berbagai faktor tersebut, sehingga tidak terjadi berbagai ketimpangan dalam kehidupan mereka, baik pada saat beramal atau pada masa yang akan datang. Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dalam banyak haditsnya telah menjelaskan dengan gamblang metode beramal semacam ini, diantaranya pada sabda Beliau:
Pada suatu hari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash rodhiallahu ‘anhu berkata, ‘Seumur hidupku, aku akan sholat malam terus menerus dan senantiasa berpuasa di siang hari.’ Tatkala Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam dilapori tentang ucapan sahabat ini, beliau memanggilnya dan menanyakan perihal ucapannya tersebut. Tatkala Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash mengakui ucapannya tersebut, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, Engkau tidak akan kuat melakukannya, maka berpuasalah dan juga berbukalah (tidak berpuasa). Tidur dan bangunlah (sholat malam). Dan berpuasalah tiga hari setiap bulan, karena setiap kebaikan akan dilipatgandakan supuluh kalinya, dan yang demikian itu sama dengan puasa sepanjang tahun.’ Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash berkata, ‘Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu’ Beliau menjawab, ‘Puasalah sehari dan berbukalah dua hari.’ Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash kembali berkata, ‘Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.’ Beliau menjawab, ‘Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan itulah puasa Nabi Dawud ‘alaihissalaam dan itulah puasa yang paling adil.’ Mendengar yang demikian, Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash berkata, ‘Sesungguhnya aku mampu melakukan yang lebih dari itu.’ Beliau menjawab, ‘Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu.’ Kemudian semasa tuanya Abdullah bin ‘Amr Al ‘Ash menyesali sikapnya tersebut dan beliau berkata, ‘Sungguh seandainya aku menerima tawaran puasa tiga hari setiap bulan yang disabdakan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, lebih aku sukai dibanding keluarga dan harta bendaku.’ (Kisah ini diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu sebagian ulama’ menjelaskan bahwa metode yang benar dalam beramal agar dapat istiqomah sepanjang masa dan dalam segala keadaan:
“Beramallah sedangkan engkau dalam keadaan khawatir, dan beristirahatlah dari beramal dikala engkau masih menyukai amalan tersebut (bersemangat untuk beramal).”
Disadur ulang dari:
- http://alimancenter.com/index.php?option=com_content&view=article&id=420:istiqomah-bada-ramadhan&catid=101:buletin-al-iman&Itemid=18
- Tafsir Fi Zhilalil Qur’an

Thursday 27 June 2013

Mulai 2013, Guru Tak Boleh Mengajar?

OPINI | 17 November 2012 | 07:04 Dibaca: 2937   Komentar: 21   17
Telah 13 tahun saya menjadi guru sejak pengangkatan pada 1 Maret 1999. Setelah diangkat menjadi guru, saya mulai memelajari tugas pokok dan fungsi guru atau yang lebih dikenal dengan tupoksi. Ada lima tupoksi guru, yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakannya, mengevaluasinya, meremidinya, dan memerkayanya. Lima tugas itu akan menghasilkan out put yang luar biasa baiknya manakala guru sudah melakukan kelimanya penuh kesungguhan. Dan itu terbukti benar. Menurutku, out put atau lulusan terdahulu memiliki kompetensi lebih bagus daripada lulusan sekarang.
Namun, agaknya pemerintah (dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) kurang kerjaan. Bukannya mengoptimalkan tupoksi tersebut, melainkan menambah dan menambah beban guru seraya memberikan tuntutan-tuntutan agar guru tak lagi mengajar. Mengapa? Karena tuntutan itu selalu dan selalu berkaitan dengan ketertiban administrasi alias portofolio pekerjaan. Bukannya penilaian kinerja faktual, melainkan penilaian teoritis yang dibungkus fakta tertulis.
Masih teramat jelas terbayang manakala guru-guru diributkan oleh pelaksanaan sertifikasi guru. Begitu banyak kasus terjadi tentang penipuan dokumen-dokumen agar lolos dari penilaian tersebut. Mulai dari penipuan sertifikat, ijazah, dokumen adminsitrasi pengajaran dan lain-lain. Bagi yang dinyatakan lolos, ia dinyatakan lulus sertifikasi guru melalui jalur penilaian portofolio. Bagi yang tidak dinyatakan lolos, langsung ia diwajibkan mengikuti PLPG (Pendidikan dan Latihan Profesi Guru). Dan selama PLPG, ribuan siswa menjadi telantar karena ditinggalkan gurunya. Maka, hasil pendidikan justru mengalami penurunan secara drastis!
Belum hilang dari bayangan kebijakan sertifikasi, guru-guru harus mengikuti Uji Kompetensi Guru (UKG). Jutaan murid telantar karena ditinggalkan para guru yang harus mengikuti UKG di seberang sana. Mungkin tak pernah terpikir oleh Kemendikbud bahwa guru-guru itu berdomisili dan mengajar nun jauh di pelosok pulau terpencil. Hasilnya teramat mencengangkan: nyaris 95% guru dinyatakan tak lulus UKG! Dan Kemendikbud diam seribu basa!
Belum hilang ingatan dari itu, mulai tahun 2013, lagi-lagi, pemerintah akan menggulirkan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah atau PP 53/2010 tentang Disiplin PNS dan PP 46/2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS. PP 53 tahun 2010 jelas mengatur perilaku disiplin pegawai. Dalam PP 53 tahun 2010, pegawai tak boleh seenaknya melakukan tindakan-tindakan selama melaksanakan pekerjaan.
Selain PP 53/2010 tentang Disiplin Pegawai, pemerintah pun telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah  Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai Negeri Sipil PNS sebagai pengganti DP3. PP itu bertujuan untuk meningkatkan prestasi dan kinerja PNS.  PP ini merupakan penyempurna dari PP Nomor 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan PNS yang dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan hukum. Prestasi kerja PNS akan dinilai berdasarkan 2 (dua) unsur penilaian, yakni (1) SKP (Sasaran Kerja Pegawai), yaitu: rencana kerja dan target yang akan dicapai oleh seorang PNS dan Perilaku kerja, yaitu: setiap tingkah laku, sikap atau tindakan yang dilakukan oleh PNS atau tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PP ini mensyaratkan setiap PNS wajib menyusun SKP berdasarkan rencana kerja tahunan instansi. SKP itu memuat kegiatan tugas jabatan dan target yang harus dicapai dalam kurun waktu penilaian yang bersifat nyata dan dapat diukur. Dalam PP itu juga disebutkan, bahwa PNS yang tidak menyusun SKP dijatuhi hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai disiplin PNS.
Adapun penilaian perilaku kerja meliputi aspek: orientasi pelayanan, integritas, komitmen, disiplin, kerjasama, dan kepemimpinan. Khusus penilaian kepemimpinan hanya dilakukan bagi PNS yang menduduki jabatan struktural. Penilaian prestasi kerja PNS ini dilaksanakan sekali dalam 1 (satu) tahun, yang dilakukan setiap akhir Desember pada tahun yang bersangkutan dan paling lama akhir Januari tahun berikutnya. Ketentuan mengenai peraturan penilaian PNS ini juga berlaku bagi Calon PNS (CPNS).
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, saya berpendapat bahwa PP itu sama saja melarang guru (PNS) untuk tekun mengajar anak didik di depan kelas. Dengan setumpuk pekerjaan itu, teramat sulit bagi guru (PNS) bekerja secara efektif. Mereka jelas akan menitikberatkan pekerjaan administrasi daripada pembelajaran. Terlebih, masih begitu banyak guru-guru membantu pekerjaan sampingan sebagai walikelas, bendahara BOS, wakil kepala sekolah, koordinator ekstrakurikuler, dan beragam tugas lainnya. Lalu, kapan guru mengajar murid-muridnya?
Teriring salam,
 ANCAMAN BUAT GURU 2013
 
Pengaturan kenaikan pangkat guru telah mengalami tiga fase. Fase pertama adalah kenaikan pangkat otomatis, yaitu dalam kurun 4 tahun sekali. Hal ini mirip dengan kenaikan pangkat pada jenjang struktural.
Kenaikan pangkat tersebut kemudian diganti pemerintah dengan sistem perhitungan angka kredit karena apabila tetap diberlakukan, maka banyak guru yang akan dengan mudah pensiun pada golongan IV e.
Fase selanjutnya adalah kenaikan pangkat yang menggunakan angka kredit kumulatif (sesuai dengan PERMENPAN Nomor 84/1993 dan PERMENDIKNAS Nomor 025 tahun 1995). Kenaikan pangkat ini lebih bersifat administratif karena besarnya poin angkat kredit lebih banyak ditunjukkan oleh prestasi kuantitas administrasi yang dihasilkannya, mulai dari kegiatan utama seorang guru seperti menyusun program pengajaran, menyajikan program pengajaran, melaksanakan evaluasi belajar, dan seterusnya.
Kenaikan pangkat ini pada akhirnya diganti pemerintah karena disinyalir masih banyak guru yang hanya sekedar melengkapi bukti administrasi saja yang notabene dianggap “fiktif”. Sementara itu, fase ketiga adalah kenaikan pangkat guru yang menggunakan PKG (Penilaian Kinerja Guru), yang akan diberlakukan efektif mulai awal tahun 2013 nanti. Peraturan yang dimaksud adalah Praturan Menteri Pendidikan Nasional No. 35 tahun 2010, sebagai tindaklanjut dari Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatu Negara No. 16 tahun 2009 (dapat anda download di sini).
Banyak yang beranggapan (terutama non-guru), bahwa yang dilakukan pemerintah adalah terobosan baru yang sudah tepat. Terbukti dari sekian banyak media online yangmengungkap tentang PKG ini, disambut dengan hangat.
Berbeda bagi admin, aturan baru PKG yang efektif berlaku januari 2013, adalah peraturan yang bakal “mencekik” guru. Banyak hal yang layak dipertanyakan, baik secara teoretis, maupun faktual. Hal mendasar dari semua itu adalah gambaran peraturan yeng semestinya hanya tepat diberlakukan di wilayah tertentu Indonesia, atau semestinya berlaku bagi yang sudah memiliki golongan IV a ke atas.
Dasar pemikiran ini muncul ketika seakan imej masyarakat melihat kesejahteraan guru yang bukan lagi seperti sosok “oemar bakri”. Guru hari ini mendapat kesejahteraan yang lebih dengan berbagai tunjangan termasuk program sertifikasi guru. Pihak non-guru “berang”, seakan merasa tidak adil. Mereka mengatakan, guru mendapat sertifikasi, dan mendapat libur lebih. Admin menegaskan “itu salah”. Pekerjaan seorang guru, bukan hanya duduk, bukan hanya mengajar dan atau mendidik, tapi setumpuk pekerjaan yang harus dibawa pulang seusai mengajar. Bayangkan dengan aturan jam tatap muka minimal 24 jam per pekan, maka bagi yang memiliki jam mata pelajaran bidang studi hanya 2 jam per pekan, maka guru tersebut harus manghadapi 12 kelas, jika satu kelas terdiri dari 25 siswa, maka per pekan guru tersebut akan menghadapi/mengurusi 300 siswa. Coba pembaca membayangkan jika satu pekan 12 kelas ini masing-masing diberi soal evaluasi 5 nomor SAJA dengan model pemeriksaan hasil jawaban sistem bobot, maka guru tersebut akan memeriksa/membaca/menganalisa 1500 soal dengan sistem bobot nilai, yang berdasarkan pengalaman, jika diperiksa dibutuhkan paling cepat 2 menit per nomor soal. Artinya dibutuhkan 3000 menit per pekan HANYA UNTUK MEMERIKSA HASIL EVALUASI TIAP PERTEMUAN, belum yang lain. Sekali lagi, BELUM PEKERJAAN RUMAH YANG LAIN BERKAITAN DENGAN 300 siswa tadi. Contoh ini menegaskan bahwa keliru jika dikatakan bahwa pekerjaan guru adalah pekerjaan mudah, mendapat tunjangan tinggi dengan libur beruntun.
Munculnya aturan PKG menuntut profesionalisme guru sesuai harapan pemerintah yang sampai hari ini, arah tujuan pendidikan yang dianggap berhasil itu justru tidak jelas. Hal ini berakibat syarat uji profesionalisme guru pun menjadi tidak jelas. Lihat aturan seorang guru profesional harus memiliki sertifikat. Untuk mendapatkan sertifikat, bagi yang masih......mengikuti pendidikan dan pelatihan oleh perguruan tinggi yang ditunjuk selama -+1 bulan. Apakah profesionalisme tercapai hanya dalam DIKLAT 1 bulan??.
Ketika regulasi ini belum berhasil, muncullah regulasi baru, yang insya Allah memancing kolusi baru di tingkat daerah. Ini menunjukkan, regulasi yang ditetapkan pemerintah seakan tidak melihat yang dibuat sebelumnya sudah sesuai atau belum dengan regulasi yang telah ada.
Referensi Makalah®
*Refleksi admin

Sunday 16 June 2013

Kebahagian Seorang Guru
Joko Wahyono

Suatu ketika di kantor guru, saya kedatangan seorang tamu, seorang teman memberi tahu saya bahwa saya sedang dicari seseorang berseragam polisi, wah ada apa nich..? tanya saya dalam hati, pikiran saya sudah mulai menebak-nebak, apa ada anak yang tawuran? Atau ada sesuatu yang tidak beres di sekolah ini, pikir saya. Dengan deg-deg an, saya minta tamu tersebut masuk ke ruang kantor saya. Sesaat masuk, tamu dengan pakaian dinas polisi tersebut, memberi hormat kepada saya dan dengan sikap tegap mengatakan. “Lapor Pak, Saya Letnan Satu Herzoni Saragih, murid Bapak angkatan pertama SMP YPPSB, saat ini bertugas menjadi Kepala Polisi Sektor ....di Kabupaten Bulungan Kaltim”. Sontak saya peluk dia. Herzoni bercerita banyak tentang tugas-tugasnya, teman seangkatannya yang telah jadi dokter, pengusaha cargo, ada yang jadi karyawan di perusahaan asing, ada yang melanjutkan kuliah di luar negri dan lain-lain. Mendengar itu semua, ada air mata bahagia, ada aliran hangat yang menyelimuti hati saya. Ada rasa bangga bahwa murid saya telah berhasil mencapai apa yang dicita-citakan, ada rasa haru atas pengakuan dan rasa hormat murid saya tersebut, walau sudah berpisah sekian lama. Ada rasa bahagia di hati saya.

Pada kisah yang lain, saya mendapat informasi dari teman-teman guru dan para orang tua murid bahwa salah satu bekas murid saya yang dulu sangat dekat dengan saya, telah menjadi preman di kawasan Town Hall, sebuah kawasan perniagaan di kota Sangatta kabupaten Kutai Timur. Namanya sebut saja Robin. Dari info yang saya dapatkan penampilan Robin sudah sangat berbeda, rambutnya gondrong, pakai kalung, dan anting-anting, pakaian khasnya rompi kulit, pakai ikat kepala gaya penyanyi rap, matanya merah, mulutnya bau minuman keras, dan lain-lain. Pendek kata label preman telah diberikan lingkungannya terhadap Robin. Ada rasa gundah di hati saya, ada rasa sedih yang menyelimuti hati saya, ada beribu-ribu pertanyaan di pikiran saya, apa yang terjadi pada anak tersebut? Dan mengapa dia memilih menjadi preman pasar seperti itu?

Suatu ketika, secara tidak sengaja saya bertemu Robin, dia ingin menghindari saya namun saya coba panggil namanya, saya hampiri dan salami dia dengan hangat. Saya tatap matanya?, saya menduga ada luka yang mendalam terlihat dari sorot matanya. Saya tanya apa kabarnya?, dia menjawab yah beginilah Pak, seperti yang bapak lihat. Dia mengatakan, apakah Bapak tidak malu mempunyai murid seperti saya? Tanyanya. Saya menjawab "Malu?, mengapa harus malu?, jadi apapun kamu, kamu telah ditakdirkan menjadi murid saya. Kata-kata itu spontan keluar dari mulut saya. Kami mencari tempat duduk yang nyaman, di teras sebuah toko yang dirindangi pohon. Saya menjadi pendengar yang baik dari masalah yang telah menimpa dirinya, “Ayah saya kawin lagi, dia tidak mempedulikan kami, dia berlaku kasar terhadap Ibu saya, Kalau ketemu akan saya bunuh mereka”. Kata Robin dengan geramnya. Saya mencoba berempati, mendengarkan "curhat"nya, setelah semua sudah dicurahkan saya mencoba menanyakan kembali sebenarnya dia dulu memiliki cita-cita seperti apa?, ”Saya ingin jadi arsitek Pak, saya tinggalkan kuliah saya karena masalah ini”. Katanya. Tidak banyak yang bisa saya berikan, saya hanya mendengarkan dan menggali harapannya. Sebelum berpisah, saya tepuk pundaknya dan saya katakan, “Kamu anak cerdas dan kamu pasti bisa jadi Arsitek”.  Saya sampaikan juga  bahwa  saya bersedia bertemu kapan saja yang dia butuhkan.

6 bulan kemudian, saat saya dan keluarga sedang menikmati liburan di Kawasan  Mall Mesra Indah di Samarinda. Ada seorang pemuda memanggil saya, Pak Joko...Pak Joko...., Saya Robin Pak. Saya hampir tidak mengenalnya, rambutnya rapi, pakaiannya rapi dan sopan, sorot matanya penuh keceriaan. Dia mengatakan, saat ini saya kuliah lagi, Pak. Setelah bertemu dengan Bapak, saya terus berpikir dan akhirnya memutuskan kuliah lagi. Subhanallah, perasaan saya yang awalnya gundah, sedih berubah menjadi begitu senang, haru dan bahagia.

Saturday 15 June 2013

 MENGATASI KESULITAN MENULIS



Memiliki pengetahuan tentang menulis memang tidak cukup untuk membuat diri kita lantas mampu menulis. Pengetahuan itu tetap sangat penting, namun perlu ditambah dengan latihan-latihan menulis yang dijalankan secara kontinu dan konsisten. Nah, kadang, baik pengetahuan maupun pelatihan tidak berhasil mendorong diri kita untuk bersemangat dan bergairah dalam menjalankan latihan menulis.

Saran saya begini: Anda perlu kembali kepada diri Anda dengan jalan, pertama, buang semua aturan, teori, dan juga saran-saran saya berikut ini setelah Anda membaca dan memahaminya. Sekali lagi, kembalilah kepada diri Anda. Kedua, bayangkan masa kecil Anda ketika Anda belajar dan berlatih (ingat, Anda bukan hanya belajar tetapi juga berlatih) berbicara dan berjalan. Anda tidak memiliki pengetahuan tentang bagaimana berbicara dan berjalan yang benar. Anda hanya melihat dan kemudian meniru berbicara dan berjalan orang-orang yang ada di sekeliling Anda. Akhirnya, Anda, kini, malah bisa bernyanyi dan berlari --tentu sesuai kadar diri Anda.

Ketiga, setelah membayangkan, cobalah --sekali lagi-- Anda kembali kepada diri Anda yang sangat berpotensi. Yakinkan diri Anda bahwa Anda memiliki potensi menulis --sebagaimana Anda juga memiliki potensi bernyanyi dan berlari. Latihlah diri Anda untuk menulis sesuai yang Anda pahami dari sekeliling Anda. Tirulah orang-orang yang sudah ahli menulis dengan cara membaca tulisan mereka. Ketika Anda meniru mereka, upayakan untuk mengeluarkan diri "original" Anda  --keinginan, harapan Anda, dan apa pun yang Anda simpan di dalam pikiran dan perasaan Anda. Mulailah dengan kata ganti orang pertama --"aku" atau "saya"-- di awal tulisan Anda. Contoh: "Aku ingin menulis apa hari ini? Aku tertarik meniru cara Andrea Hirata dalam menuliskan masa kecilnya di bukunya, Laskar Pelangi. Bagaimana dengan masa kecilku ya?" Teruskanlah.

Nikmatilah prosesnya dan tidak usah Anda perhatikan hasilnya terlebih dahulu. Ketika sedang berlatih menulis, jangan membaca (mengoreksi) materi yang telah berhasil Anda tulis. Keluarkan (tulis) saja apa yang ingin Anda keluarkan. Biasakan melakukan latihan meniru atau mengeluarkan seperti ini setiap hari, minimal 15 menit. Jika merasa cukup (lelah, misalnya), ya berhenti. Jangan lupa, simpan dan hargai tulisan-tulisan awal Anda tersebut. Saya yakin, dalam satu bulan, Anda akan merasakan sesuatu yang berbeda terkait dengan potensi menulis Anda.
Bagaimana Cara Mengukur Kemampuan Siswa Kalau Tidak Ada Ujian Nasional?
Oleh Dhitta Puti Sarasvati


Beberapa pihak menuntut Ujian Nasional (UN) untuk dihentikan karena berbagai alasan. UN mendorong guru untuk mengajar sekadar untuk tujuan lulus ujian (teaching to the test). UN juga kurang bisa menggambarkan perkembangan kemampuan siswa selama di sekolah. Yang tidak kalah penting, UN hanya dilakukan dalam beberapa hari tapi sangat menentukan masa depan siswa.

Banyak orang yang tidak bisa membayangkan dunia persekolahan tanpa UN. Padahal, sangat mungkin, bahkan memang seharusnya. Data untuk menentukan kelulusan siswa seharusnya diambil dari serangkaian evaluasi di kelas yang disebut assessment . Assessment harus dilakukan secara berkala, khususnya di dalam proses pembelajaran di dalam kelas. Assessment adalah sebuah alat yang bisa digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa. Ulangan harian, pekerjaan rumah (PR), termasuk contoh-contoh assessment. Namun, bentuk-bentuk assessment jauh lebih banyak daripada sekadar ulangan harian ataupun PR. Yang penting, assessment harus memenuhi salah satu prinsip dasar yakni ia harus bisa mengukur apa yang memang ingin diukur (McAlpin, 2002).

Dalam evaluasi proses belajar mengajar, apa yang perlu diukur biasanya tercantum dalam tujuan pembelajaran (learning objectives). Misalnya, siswa kelas 6 SD diharapkan dapat �mendeskripsikan  perkembangan dan pertumbuhan manusia dari bayi sampai lanjut usia� (KTSP, 2006). Untuk bisa melakukan ini, guru perlu membuat kegiatan pembelajaran yang memungkinkan siswa mencapai tujuan pembelajaran di atas. Siswa bisa diminta membawa fotonya dari saat dia masih bayi (beberapa bulan), foto saat dia 1,2, 3, tahun, dan seterusnya sampai seusianya sekarang.  Lalu, siswa diminta menceritakan mengenai apa yang terjadi dengan tubuhnya selama itu dan meminta mereka menebak apa yang akan terjadi saat mereka semakin tua. Kemudian, siswa diminta untuk mencari bacaan terkait perkembangan manusia dan mendiskusikannya di kelas. Saat akhir sesi mengenai topik ini siswa bisa diminta membuat sebuah gambar yang dilengkapi deskripsi tertulis mengenai perkembangan manusia. Ini merupakan salah satu contoh assessment yang bisa menunjukkan apakah siswa sudah berhasil mencapai tujuan pembelajaran.

Memang, pada dasarnya assessment tidak dapat dipisahkan dengan proses pembelajaran. Sebagai contoh, saat pelajaran IPA siswa belajar dengan membuat percobaan tertentu. Assessment bisa berupa sebuah jurnal yang berisi foto, tabel berisi data yang diperoleh dari percobaan, serta hasil analisa yang bisa ditampilkan dalam bentuk tertulis maupun dilengkapi gambar. Dalam pelajaran bahasa Indonesia, siswa belajar membaca dan mengungkapkan pendapatnya mengenai buku tersebut. Siswa dapat diminta membaca sebuah buku, lalu mendiskusikan mengenai buku tersebut dengan temannya. Untuk pembelajaran seperti ini assessment berupa tulisan siswa yang menggambarkan pendapatnya mengenai buku tersebut.

Untuk menilai karya siswa, guru bisa dibantu dengan sebuah rubrik. Rubrik adalah sebuah alat penilaian (biasanya berupa tabel) yang secara eksplisit menggambarkan apa yang diharapkan dari sebuah tugas atau karya.


Ada cara lain untuk melakukan assessment. Guru bisa membuat cek-list berisi indikator yang menggambarkan target yang harus dicapai masing-masing siswa. Indikator ini, diturunkan dari kompetensi dasar (KD) yang ada dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP, 2006). Guru menandai indikator yang telah dicapai oleh siswa.



Ada berbagai cara untuk melakukan assessment. Assessment juga bisa dirancang sedemikian rupa agar siswa tertarik mengerjakannya. Assessment memang perlu dilakukan secara berkala. Daripada menggunakan sebuah ujian nasional sebagai penentu kelulusan, siswa bisa diminta memilih karya-karya terbaiknya selama bersekolah dan mengumpulkannya dalam sebuah portfolio.  Bahkan, siswa juga bisa diajarkan untuk membiasakan diri meng-assess dirinya sendiri, misalnya dengan meminta siswa menuliskan perkembangannya dalam belajar sepanjang semester.

Hasil dokumentasi assessment yang menunjukkan perkembangan belajar siswa selama belajar di sekolah menjadi bukti bahwa siswa telah belajar begitu banyak selama di sekolah. Kerja keras siswa terlihat dengan kualitas karya yang dihasilkannya. Assessment secara berkala di dalam kelas berarti kita tetap bisa mengukur kemampuan siswa, dan perkembangan belajar siswa dari waktu ke waktu, bahkan tanpa UN sekalipun. Selama proses pembelajaran di kelas berfokus pada tujuan pembelajaran, bukan sekadar menghabiskan materi dalam buku teks atau driling soal, maka assessment berkala akan jauh menunjukkan kualitas siswa daripada UN!